Pages - Menu

Rabu, 22 Januari 2014

Eksotisme Jawa Timur, Blue Fire di Kawah Ijen

Tak banyak orang mengetahui keindahan yang dimiliki oleh Negeri ini. Negeri yang penuh dengan harta karun tak terhingga. Yah negeri itu adalah Indonesia, berjuta-juta wisata alam dan budaya yang ia miliki sungguh sangat mengagumkan. Indonesia memang negeri yang sangat eksotis, tapi tak banyak rakyatnya mengetahui hal itu. Kalau boleh prediksi nih, sepanjang usia kita mungkin belum bisa menghabiskan semua wisata di Indonesia.

Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang salah satu dari sekian banyak keindahan Indonesia. Setelah UAS (Ujian Akhir Semester) saya dan beberapa teman berencana untuk pergi. Namun hingga H-1 keberangakatn kami benar-benar bingung menentukan tujuan. Tiba-tiba Alif salah satu dari kami memberikan saran untuk pergi ke Kawah Ijen lewat jalur Bondowoso sekalian mampir ke rumah neneknya. Langsung saja kami cari tau tentang Kawah Ijen di internet, sangat indah dan menakjubkan. Akhirnya kami putuskan untuk pergi kesana. Segeralah kami buat rencana perjalanan dan perlengkapan yang kita butuhkan saat perjalanan nanti.

Beberapa perlengakapan pribadi yang dibutuhkan saat ke Kawah Ijen antara lain jaket (gak perlu tebal yang penting bahannya polar), barang pengahangat lainnya (kerpus, kaos kaki, sarung tangan), headlamp/senter, sepatu/sandal tracking dan masker. Masker tidak boleh sampai terlupakan karena untuk menghindari bau belerang ketika sampai di puncak maupun kawah. Sedangkan untuk perlengkapan kelompok kita butuh logistic, nesting (tempat makan dan masak), kompor dan tenda jika diperlukan. Untuk mencapai lokasi kami pergi dengan mengendarai sepada motor, jadi paling tidak service sepeda motor dulu laaah ~

Kawah Ijen terletak di Banyuwangi, Jawa Timur. Ada banyak jalur yang digunakan untuk bisa sampai kesana. Kita bisa lewat Situbondo, Bondowoso maupun lewat Banyuwangi. Kawah Ijen memiliki fenomena alam yang hanya dimiliki oleh 2 tempat di dunia. Yaitu di Islandia dan Indonesia. Fenomena itu adalah "Api Biru" atau orang biasa menyebutnya dengan "Blue Fire".

Blue Fire hanya bisa dilihat mulai dari terbenamnya matahari hingga sebelum matahari terbit. Jadi jika kita ingin menyaksikan fenomena itu, maka harus melakukan perjalanan ke kawah pada dini hari. Singkat cerita kami sampai di kaki gunung tepatnya di Pos Paltuding pukul 5 sore. Hari itu cuaca mendung dan berkabut diiringi gerimis yang gak mau berhenti. Setelah parkir kami menuju kantor perijinan untuk mengisi biodata dan keperluan lainnya. Harga tiket per orang hanya Rp. 2000 sudah termasuk parkir. Jika membawa tenda dikenakan biaya tambahan sebesar Rp. 15000/tenda sedangkan untuk kamera dikenai Rp. 10000/kamera. Namun jika hanya membawa kamera ponsel tidak dikenai biaya apapun.

Selanjutnya setelah melapor, kami segera meluncur ke camp area. Kami mendirikan tenda di salah satu shelter yang paling besar, Biar gak kehujanan tendanya hehehe. Kami akan mulai tracking pada pukul 1 dini hari. Jadi kami menghabiskan waktu dengan makan serta main kartu sambil merasakan hembusan angin yang menusuk tulang. Tak lama kemudian satu persatu dari kami tumbang alias ngantuk dan masuk ke dalam tenda untuk tidur. Tapi saking dinginnya beberapa dari kami tidak bisa tidur, akhirnya kami membuat api unggun dari sampah-sampah yang ada. Alarm dari ponsel kami pun berbunyi, pertanda kita harus bersih-bersih tenda dan mempersiapkan semau keperluan yang akan dibawa ke puncak. Beberapa tas dan tenda kami titipkan di petugas yang menjaga parkir dan toilet. Setelah semua siap, sekitar pukul 1 dini hari barulah kita berdoa dan memulai melangkahkan kaki menuju puncak Kawah Ijen.

Jarak dari Pos Paltuding menuju puncak sekitar 3 km, kurang lebih 1-2 jam berjalan dengan tempo normal. Dengar-dengar jalur pendakian Kawah Ijen itu menanjak, tapi jalannya sudah diperbaiki jadi terasa lebih ringan. Di perjalanan saya bertemu dengan seorang bapak yang usianya hampir 70 tahunan. Sempat saya bertanya beberapa pertanyaan dan saya mendapatkan jawaban yang mengejutkan.

"Bapak sendirian saja?"  tanyaku.
"Iya nak, saya sendiri saja" jawab beliau.
"Bapak ngapain sendirian ke Kawah Ijen?" ujarku penasaran.
"Ya jalan-jalan saja nak" jawabnya enteng.

Mendengar jawaban itu, spontan membuat saya heran dan kagum. Hanya untuk jalan-jalan saja beliau bisa ke Kawah Ijen yang jalurnya menanjak, bagaimana kalau mendaki betulan, bisa-bisa beliau ke Himalaya. hehehe. Beliau masih mampu berjalan setara dengan kami yang masih lebih muda diatasnya.

Tak jauh setelah bertemu Bapak tua itu, saya bertemu dengan salah satu kru dari JTV dan sempat bercakap-cakap sedikit. Ternyata tema JTV kali ini tentang Banyuwangi, jadi reality show mereka akan meliput semua wisata alam di Banyuwangi dan sekitarnya. Betapa girangnya saya yang terobsesi sebagai reporter wisata-wisata alam seperti itu. Bertemu dengan salah satu kru nya saja sudah membuat hati gembira apalagi kalau bertemu dengan reporternya, wah bisa-bisa diam seribu bahasa deh saya.

Langsung saja deh, kita tiba di puncak sekitar pukul setengah 4 pagi. Kita rebahkan badan sejenak ke tanah kemudian langsung kita lanjutkan perjalanan menuju kawah untuk melihat Blue Fire. Kali ini jalurnya lebih menantang, bebatuan dan terjal serta sering sesekali angin yang membawa bau belerang berhembus ke arah kami. Dan jalur ini juga dilewati oleh para penambang belerang dengan membawa paling sedikit 65 kg beban di pundak mereka. Sempat saya bertanya dengan seorang penambang bernama Pak Saman, kini usia beliau 30 tahun dan beliau berprofesi sebagai penambang sejak 4 tahun terakhir. Dalam sehari beliau bisa 2 sampai 3 kali naik turun Kawah Ijen untuk menyetor hasil tambangannya. Sangat mengejutkan hati, belerang yang diperoleh susah payah itu hanya dihargai Rp. 800/kg. Tapi mau bagaimana lagi, hal itu sudah menjadi mata pencaharian warga banyuwangi.

Sesampainya kami di kawah, tanpa pikir panjang kami langsung memasang tripot dan menyalakan kamera. Pemburuan foto pun dimulai, dan inilah
beberapa hasilnya. Banyak yang gagal, karena kurangnya cahaya yang kami peroleh.

Blue Fire Kawah Ijen

Blue Fire
Tak cukup puas dengan hasil jepretan, kami harus merelakan untuk kembali ke puncak. Asap dan aroma belerang benar-benar sudah menyiksa pernafasan kami. Banyak pendaki yang juga kembali ke puncak. Ketika perjalanan matahari mulai menyiratkan sinarnya, sudah mulai terlihat kawah gunung Ijen yang menggoda untuk diterjuni.

Dari kanan: Ilyas, saya, Kurnia dan Mas Putra
Background kawah Gn. Ijen


Lelah memang, tapi semua terbayar dengan keindahan yang disajikan Kawah Ijen. Kembali di puncak, kami istirahat sambil menunggu kawan yang masih berada di bawah. Tak lupa kami berfoto ria ~

Jalur pendakian Gn. Ijen

Kawah Gn. Ijen dilihat dari puncak

Penambang dengan beban pikulan 65 kg


Berpose di puncak Gn. Ijen
Cukup lama beristirahat, kami melanjutkan perjalanan ke Pos Paltuding. Sembari berjalan kami sempatkan untuk mengambil beberapa foto dengan background pemandangan sekitar. Terlihat sebuah gunung kembar dihadapan kami. Gunung itu bernama Gunung Meranti, elok sekali terlihat puncaknya dari Gn. Ijen.
Gn.  Meranti tampak dari Gn. Ijen
Kami Bersama Bp. Saman ketika turun ke Pos Paltuding

Dari kanan: Alif, saya, Bella, Kurnia

Tak terasa perjalanan menurun lebih cepat dari yang dibayangkan. Ketika sampai kami istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan ke bondowoso dan mampir ke rumah nenek Alif sejenak.





Selasa, 07 Januari 2014

Hari Ibu di Puncak Ogal-agil Gn. Arjuno 3339 mdpl





Tiada kasih yang setulus kasihnya. Tiada cinta yang semurni cintanya. Tiada sentuhan yang selembut sentuhannya. Mama, sosok lembut nan perhatian yang tiada tandingannya. Beliau selalu setia menemaniku dalam suka maupun duka. Mama selalu mengiringi perjalanan hidupku dari nol hingga kini. Mama yang selalu menopangku dikala aku jatuh, Mama yang selalu mengingatkanku agar aku selalu berusaha dan berjuang untuk mencapai tujuan hidup yang kekal. Mama tiada lagi yang bisa ku ceritakan tentang dirimu, sudah habis semua pujianku untukmu. Terima kasih telah mau mendidik dan menjagaku. Terima kasih untuk semua yang telah engaku berikan kepadaku. Anakmu ini takkan bisa membalas semua yang telah Mama berikan. Terima kasih Mama.

22 Desember 2013, "Selamat Hari Ibu" untuk semua ibu di dunia ini. Untuk memperingati moment ini, saya dan beberapa teman memperingatinya dengan cara sedikit berbeda. Kami melakukan pendakian menuju puncak Ogal-agil Gunung Arjuno dengan ketinggian 3.339 mdpl. Awalnya ada 6 orang yang akan mengikuti pendakian ini, namun 2 orang tumbang yaitu Mas Lutfi dan Mas Kurniawan. Akhirnya pendakian ini hanya dilakoni oleh 4 orang pemuda nekat, Anggraeni, Mas Rifqy, Cahya, dan saya.

Ada 4 jalur pendakian untuk menuju puncak Gn. Arjuno. Bisa melalui Purwosari, Tretes, Lawang, dan Cangar. Dan kami akan melakukan pendakian dari jalur Tretes. Berangkat dari Malang tepatnya dari Universitas Brawijaya tanggal 20 Desember 2013 sekitar pukul 21.00 WIB. Memakan waktu kurang lebih 1 jam agar bisa sampai di Basecamp pendakian Tretes. Setelah sampai di basecamp kami memutuskan untuk melakukan perjalanan di esok harinya, karna waktu yang sudah terlalu malam. Hanya sejenak menginjakkan kaki di basecamp, kami lanjut melangkahkan kaki ke warung terdekat, karna cacing di dalam perut meronta-ronta untuk diberi makan. Hehehe

Semalam kita menginap di dalam basecamp, paginya pukul 05.00 WIB seusai sholat subuh kita beranjak pergi meninggalkan basecamp menuju ke Lembah Kidang, tempat kita akan mendirikan tenda. Tak lama setelah berjalan, hanya 18 menit saja kita sudah sampai di Pos 1 yaitu Pet Bocor (Kran Bocor dalam bahasa Indonesia). Masih ada warung di pos ini, yang berjualan seorang ibu-ibu setengah baya. Beliau membuka warungnya hingga malam.
Pos 1 Pet Bocor

Lanjut, setelah dari Pet bocor kita menuju ke Pos 2 Kokopan. Perjalanan lumayan panjang, sekitar 2 jam kita berjalan barulah kita sampai di lokasi. Lega sekali rasanya, karna kita akan sarapaaaan yeeee :D. Yang menjadi koki kali ini adalah Mas Rifqy dan Anggrek dengan menu sarden dan nasi putih. Nikmat sekali rasanya setelah berjalan cukup jauh.

Plakat Pos 2 Kokopan


Anggrek dan Mas Rifqy mempersiapkan sarapan


Setelah puas mengisi amunisi di perut, kita lanjutkan perjalanan ke Pos 3 Pondokan kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam untuk mencapai pos. Dalam perjalanan, setelah kita melewati sebuah gardu di kanan jalan kita akan masuk ke dalam hutan yang disebut dengan hutan "Lali Jiwo" (Lupa Jiwa/diri dalam bahasa Indonesia). Disebut hutan Lali Jiwo karena memang setelah memasuki hutan itu kita akan lupa diri karena rasa letih yang timbul akibat perjalanan yang panjang. Dan tantangan pun dimulai!. Kita melewati jalanan berbatu yang cukup membuat kaki hancur, dan by the way dalam perjalanan Anggrek dan Mas Rifqy cerita tentang tanjakan setan yang harus kita lewati jika ingin ke pos Pondokan. Denger namanya aja udah merinding, Tanjakan Setan yah. Hmm, sudah terbesit di otak bagaimana bentuk dari tanjakan setan itu. Melangkah dan terus melangkah akhirnya kita dapat Jack Pot itu juga, tanjakan setan di depan mata. Okeh, saatnya berjuang. Tanjakan yang gak ada habisnya, kurang lebih mencapai banyak kilometer (haha, maklum gak bisa memperkirakan jarak dengan tepat). Tak banyak percakapan terkuak di tanjakan setan ini, karena memang menguras tenaga.
Istirahat di tengah perjalanan melewati tanjakan setan
Sesampainya di ujung tanjakan setan, tak segan-segan kita merebahkan tubuh beserta carier ke tanah. Istirahat sejenak dan kita akan lanjutkan perjalanan.

Melanjutkan perjalanan ke Pondokan, kami sempat bertemu dengan mobil Jeep bermuatan belerang yang mereka ambil dari para Penambang di Pondokan. Sebelumnya kami juga bertemu mereka di kokopan saat mereka berangkat. Ketika sudah hampir dekat dengan Pondokan, ternyata Tuhan memberikan kami berkah berupa hujan. Cepat-cepat lah kita mengambil mantel untuk melindungi tubuh dan tas.

Lega hati ini ketika melihat beberapa pondok di ujung jalan, istirahat sejenak sembari menunggu hujan mereda. Rasa lapar kembali menghantui, akhirnya satu bungkus biskuit pun habis kita lahap. Saking lelahnya, kita berempat tertidur di teras salah satu pondok Penambang.

Sadar bahwa hujan sudah mereda, kita melanjutkan perjalanan ke pos 4 yaitu Pos Lembah Kidang kita bisa mencapainya dengan estimasi waktu 15-20 menit dari Pondokan. Disanalah kami akan mendirikan tenda untuk bermalam. Sepanjang perjalanan aku selalu bertanya-tanya apakah masih ada spesies Kijang yang hidup di lembah tersebut. Dan tak lama setelah berjalan, kami menemukan bangkai seekor Kijang dengan tubuh bagian belakang tercabik-cabik. Bangkai itu sudah menimbulkan bau tak sedap di lingkungan perkemahan. Pertanyaan pun terjawab, bahwa hewan itu masih berkeliaran di lembah ini namun hanya orang-orang yang beruntung saja yang dapat melihatnya.

Bangkai Kijang di Lembah Kidang
Di bawah rintik hujan kami berempat mendirikan tenda dengan segera, tak sabar ingin cepat-cepat berganti pakaian dan istirahat. Di Lembah Kidang juga terdapat sumber mata air yang jernih, jadi kami tidak perlu khawatir kekurangan air untuk minum atau yang lainnya. Rencana perjalanan selanjutnya yaitu puncak Ogal-Agil. Kami akan berangkat sekitar pukul 2 dini hari. Karena ingin melihat Sun Rise di puncak.

Persiapan pendakian telah siap, perjalanan dapat dimulai. Perjalanan kami ke puncak juga ditemani oleh rombongan pendaki asal Jakarta. Namun, di tengah perjalanan kami terpisah karna mereka berjalan dengan sangat cepat, kami tak sanggup mengikutinya. Ini adalah perjalanan terpanjang dari destinasi-destinasi yang ada sebelumnya. Fisik dan mental benar-benar di adu, seberapa kuat kami bisa melampauinya.

Perjalanan panjang kami ditemani oleh kabut, sangat disayangkan sekali karna kami tidak bisa menikmati alam dengan nyaman. Semua permukaan tertutup oleh kabut yang sangat tebal. Ternyata hal itu berlanjut ketika kami sampai di puncak Ogal-Agil. Memang rasa  lelah itu hilang ketika kita di puncak, namun terlintas rasa sesal karena kami tidak bisa menikmati puncak. Hujan dan kabut mengiringi kami selama kami di puncak.

Hal itu tak menghalangi kami untuk tetep mengapresiasikan kebahagiaan kami di puncak. Kami menulis beberapa tulisan yang kami persembahkan untuk ibunda tercinta. Suatu hadiah yang mungkin tak ternilai tapi itu sangat berharga bagi kami. Mungkin ini semua tak cukup untuk membalas pengabdian seorang ibu, tapi kami akan terus berusaha untuk menghasilkan yang terbaik.
Puncak Ogal-agil diselimuti kabut


Just for my mother


Yah itulah sekelumit cerita di gunung Arjuno dari saya. Semoga lain waktu bisa berkelana keliling dunia :D.